Gambar

Minggu, 04 Januari 2015

jilbab dalam pandangan M. Qurqis Syihab



 ABSTRACT
The research inspected difference of opinions between majority of the moslem scholars and the contemporary of moslem reformers about law of using jilbab in Islam. One of the moslem scholar that choose a certain opinion that using jilbab not be obligatory for the muslimah, is Quraish Shihab. With content analysis method, this research analyze several of Quraish Shihab’s opuses (books) and opinions in Tafsir al-Misbah that is base reference for this research. Based on discovery of this study, researcher conclude that opinions of Quraish Shihab influenced by feminism movement that had demanded freedom for women, than finally it influenced also to the opinions of the contemporary moslem scholars in Egypt and Tunisia, so they were not make compulsory in using jilbab.  
Kata-kata Kunci :
Jilbab, Aurat, Urf.

PENDAHULUAN
Latar belakang penelitian ini adalah tentang munculnya perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan para pembaharu Islam kontemporer tentang hukum jilbab. Salah satu yang berpendapat tidak wajibnya jilbab adalah Quraish Shihab, seorang ulama dan mufasir Indonesia yang berpendapat bahwa wanita Indonesia tidak wajib memakai jilbab. Penulis merasa penting mengkaji masalah ini karena sebelum melakukan pemihakan ilmiah, tentunya harus diketahui pendapat yang paling rajîh, pendapat yang sesuai dengan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat, serta kelebihan dan kelemahan masing-masing argumen, baik yang mewajibkan maupun yang tidak mewajibkan jilbab. Karena sebagaimana diketahui bahwa para ulama masa lalu sepakat tentang bagian rambut wanita sebagai aurat, namun para ulama kontemporer, juga mayoritas ulama Indonesia pada masa lalu justru membolehkan wanita muslimah memakai kerudung (yang menampakkan sebagian rambut dan leher wanita). Fakta ini tentunya menimbulkan berbagai pertanyaan di benak kita yang ingin sekali dicarikan jawabannya.
Berangkat dari kegelisahan di atas, setidaknya ada empat pertanyaan pokok yang ingin dicarikan jawabannya melalui penelitian ini, yaitu: Pertama, bagaimana pandangan Quraish Shihab tentang penafsiran para ulama masa lalu dan kontemporer tentang ayat-ayat dan hadis-hadis jilbab? Kedua, metode-metode apa yang dipakai dalam membangun argumennya? Ketiga, adakah faktor eksternal yang mempengaruhi pendapat Quraish Shihab? Keempat, apa kelebihan dan kekurangan argumen Quraish Shihab?
Penelitian ini menggunakan metode analisis isi (content analysis method), sumber data berasal dari beberapa karya Quraish Shihab, diantaranya Tafsir al-Misbah, yang merupakan referensi pokok yang tidak bisa diabaikan dalam penelitian ini. Pengumpulan data dengan cara mengklasifikasikan ayat-ayat dan hadis-hadis yang dijadikan sumber perdebatan para ulama masa lalu dan kontemporer tentang hukum memakai jilbab dalam bentuk per-tema maupun per-bab. Selanjutnya analisis dilakukan dengan beberapa metode berikut: Pertama, metode deduktif digunakan untuk menjelaskan dan menyimpulkan prinsip-prinsip dan teori-teori thariqatul istinbath al-ahkam yang digunakan, serta faktor yang mempengaruhinya. Kedua, metode hermeneutika-kritis digunakan untuk memahami dan kemudian melakukan analisa kritis atas sumber, metode dan aplikasi ijtihad Quraish Shihab dalam masalah yang diteliti.
PEMBAHASAN
Ada dua sumber hukum yang yang dipakai para ulama dalam menentukan batas aurat wanita serta inplikasinya dengan hukum memakai jilbab, yaitu al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi saw. Kedua sumber hukum tersebut ditafsirkan oleh para ulama masa lalu sebagai perintah untuk menutup aurat bagi wanita muslimah, akan tetapi para ulama kontemporer memiliki penafsiran yang berbeda dari para pendahulunya.
Ayat pertama ini dipakai oleh para ulama sebagai dasar dalam menetapkan batas aurat wanita, yaitu firman Allah dalam QS. An-Nur [24] : 31.
@è%urÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9z`ôÒàÒøótƒô`ÏB£`Ïd̍»|Áö/r&z`ôàxÿøts†ur£`ßgy_rãèùŸwuršúïωö7ャ`ßgtFt^ƒÎ—žwÎ)$tBtygsß$yg÷YÏB(tûøóÎŽôØu‹ø9ur£`Ïd̍ßJ胿24’n?tã£`ÍkÍ5qãŠã_(
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya…”
Perbedaan pendapat muncul di kalangan ulama dalam memaknai kalimat illâ mâ zhahara minhâ (kecuali apa yang nampak darinya (perhiasannya)) dalam ayat ini. Al-Qurthubi mengemukakan bahwa Ibnu Mas’ud memahami makna illâ mâ zhahara minhâ sebagai pakaian. Sedangkan Sa’id bin Jubair, Atha’ dan al-Auza’i berpendapat bahwa yang boleh dilihat adalah wajah wanita, kedua telapak tangan di samping busana yang dipakainya (Al-Ghazali, 1989:58). Sementara Ibnu Abbas (Katsir, 1986), Qatadah dan Miswar bin Makhzamah berpendapat bahwa yang boleh dilihat termasuk juga celak mata, gelang, setengah dari tangan yang dalam kebiasaan wanita Arab dihiasi dengan pacar, anting, cincin dan semacamnya (Al-Qurthubi, 1998:335). Menurut keterangan Ibnu Umar, Ikrimah dan Atha’ dalam riwayat Ibnu Katsir, perhiasan zhahir ialah muka dan kedua telapak tangan, serta cincin. Riwayat Ibnu Katsir yang lain menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perhiasan zhahir ialah muka dan telapak tangan (Al-Dimsiqy, t.th:335). Sedangkan menurut Tafsir Khazîn, Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa kecuali apa yang zhahir itu adalah pakaian (Al-Khazin, 1399 H:235).
Ibnu Jarir al-Thabari, guru besar para mufasir, menjelaskan makna kalimat illâ mâ zhahara minhâ tersebut sebagai muka dan tangan, dan mencakup pula celak mata, cincin, gelang dan cat kuku. Menurut al-Thabari, tafsiran yang paling benar adalah pendapat ijma’ bahwa wajib bagi pria yang menjalankan shalat untuk menutup semua bagian tubuh yang disebut aurat, demikian pula bagi perempuan yang menjalankan shalat, kecuali muka dan telapak tangannya. Jika telah ada kesepakatan pendapat tentang itu, maka tak perlu diragukan lagi, bahwa kaum perempuan tetap diperbolehkan membuka bagian tubuhnya yang tidak termasuk aurat, karena tidak diharamkan. Itulah yang dimaksud dengan kalimat illâ mâ zhahara minhâ (Al-Thabari, 1972:84).
Selanjutnya pakar yang lain, Ibnu Asyur berpendapat bahwa yang dimaksud hiasan adalah hiasan yang bersifat khilqiyah (melekat) seperti  wajah, pergelangan tangan, kedua siku sampai bahu, payudara, kedua betis dan rambut. Sedangkan maksud kalimat illâ mâ zhahara minhâ mengacu pada hiasan khilqiyah yang dapat ditoleransi karena dapat menimbulkan kesulitan apabila ditutup seperti wajah, kedua tangan dan kedua kaki (Asyur, t.th:206). Banyak ulama memahami kebiasaan yang dimaksud adalah kebiasaan pada masa turunnya al-Qur’an (Al-Albani, 1413 H:53).
Menanggapi perbedaan pandangan para mufasir sebelumnya, Quraish Shihab berpendapat bahwa masing-masing penganut pendapat di atas sebatas menggunakan logika dan kecenderungannya serta dipengaruhi secara sadar atau tidak dengan perkembangan dan kondisi sosial masyarakatnya. Batas aurat wanita tidaklah secara jelas ditegaskan dalam ayat tersebut. Sehingga ayat tersebut tidak seharusnya menjadi dasar yang digunakan untuk menetapkan batas aurat wanita (Shihab, 2006:67). Selain itu, Quraish juga menegaskan bahwa perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya tidak selalu harus diartikan wajib atau haram, tetapi bisa juga perintah itu bermakna anjuran, sedangkan larangan-Nya dapat berarti sebaiknya ditinggalkan (Shihab, 2006:141-142).
Sementara dalam memahami kalimat illâ mâ zhahara minhâ, Quraish Shihab berpendapat bahwa sangat penting untuk menjadikan adat kebiasaan sebagai pertimbangan dalam penetapan hukum, namun dengan catatan adat tersebut tidak lepas kendali dari prinsip-prinsip ajaran agama serta norma-norma umum. Karena itu ia sampai kepada pendapat bahwa pakaian adat atau pakaian nasional yang biasa dipakai oleh putri-putri Indonesia yang tidak mengenakan jilbab tidak dapat dikatakan sebagai telah melanggar aturan agama (Shihab, 1996:179, 2006:332-334).
Ayat kedua yang menjadi bahasan pokok tentang pakaian wanita, yaitu firman Allah dalam QS. Al-Ahzab [33]:59.
$pkš‰r’¯»tƒÓÉ<¨Z9$#@è%y7Å_ºurø—X{y7Ï?$uZt/urÏä!$|¡ÎSurtûüÏZÏB÷sßJø9$#šúüÏRô‰ãƒ£`ÍköŽn=tã`ÏB£`ÎgÎ6Î6»n=y_4y7Ï9ºsŒ#’oT÷Šr&br&z`øùt÷èミxsùtûøïsŒ÷sãƒ3šc%x.urª!$##Y‘qàÿxî$VJŠÏm§‘ÇÎÒÈ
Wahai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya (ke seluruh tubuh mereka)”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ketika membaca ayat ini juga muncul masalah tentang makna jilbab, karena di sini para mufasir berbeda pendapat. Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Muhammadi Ibn Sirin bertanya kepada Abidah al-Salamani tentang maksud penggalan ayat itu, lalu Abidah mengangkat semacam selendang yang dipakainya dan memakainya sambil menutup kepalanya hingga menutupi pula kedua alisnya dan wajahnya dan membuka mata kirinya untuk melihat dari arah sebelah kirinya. Al-Suddi menyatakan bahwa wanita menutup salah satu matanya dan dahinya, demikian jika bagian lain dari wajahnya kecuali satu mata saja. Pakar tafsir Al-Alusi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata ‘alaihinna adalah seluruh tubuh mereka. Akan tetapi menurutnya ada juga yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah di atas kepala mereka atau wajah mereka karena yang nampak pada masa jahiliyah adalah wajah mereka (Al-Alusi, 1985:84).
Al-Biqa’i menjelaskan beberapa pendapat seputar makna jilbab. Diantaranya adalah baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi badan wanita. Semua pendapat ini menurut ulama itu dapat merupakan makna kata tersebut. Kalau yang dimaksud dengan jilbab adalah baju, maka ia adalah pakaian yang menutupi tangan dan kakinya. Kalau kerudung maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Kalau maknanya pakaian yang menutupi baju, maka perintah mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian (Al-Biqa’i, 1995:135).
Hampir semua ulama sepakat bahwa perintah ayat di atas berlaku bukan saja pada zaman Nabi saw, tetapi juga sepanjang masa hingga kini dan masa yang akan datang. Namun sementara ulama kontemporer memahaminya hanya berlaku pada zaman Nabi saw di mana ketika itu ada perbudakan dan diperlukan adanya pembeda antara mereka dan wanita-wanita merdeka, serta bertujuan menghindarkan gangguan lelaki usil. Menurut penganut paham terakhir ini, jika tujuan tersebut telah dapat dicapai dengan satu dan cara lain, maka ketika itu pakaian yang dikenakan telah sejalan dengan tuntunan agama.
Terlepas apapun makna jilbab yang diyakini oleh tiap-tiap mufasir, yang lebih penting menurut Quraish Shihab adalah apakah perintah mengulurkan jilbab pada ayat tersebut berlaku hanya pada zaman Nabi saw atau berlaku sepanjang masa? Quraish Shihab memahami perintah tersebut hanya berlaku pada zaman Nabi saw, dimana ketika itu ada perbudakan dan diperlukan adanya pembeda antara mereka dan wanita-wanita merdeka, serta bertujuan menghindarkan gangguan lelaki usil. Menurutnya, sebelum turunnya ayat ini, cara berpakaian wanita merdeka atau budak – yang baik-baik atau yang kurang sopan hampir dapat dikatakan sama. Karena itu lelaki usil sering kali mengganggu wanita-wanita khususnya yang mereka ketahui atau duga sebagai sahaya. Untuk menghindarkan gangguan tersebut, serta menampakkan keterhormatan wanita muslimah ayat di atas turun (Shihab, 2006:309).
Adapun sumber hukum dari hadis (tentang batas aurat wanita) yang diperdebatkan para ulama diantaranya adalah hadis berikut:
Pertama, hadis dari Aisyah r.a., ia berkata:
أَنَّ أسماءَ بِنتَ أبِي بَكرٍ دخلتْ على رسُولِ الله ص.م. و عليها ثِيابٌ رِقاقٌ, فأعرضَ عنهأ رسُول الله ص.م.وقالَ: يا أسماءَ إِنَّ المرأةَ إذأ بلغتِ المَحيضَ لمْ يصلُحْ أنْ يُرى مِنها إلا هذا و هذا (و أَشارَ إلى وجْهِهِ و كفَّيهِ)
“Bahwa Asma’ putri Abu Bakar r.a. datang menemui Rasulullah saw dengan mengenakan pakaian tipis (transparan), maka Rasulullah saw berpaling enggan melihatnya dan bersabda, “Hai Asma’, sesungguhnya perempuan jika telah haid maka tidak lagi wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini” (sambil beliau menunjuk ke arah wajah dan kedua telapak tangan beliau) (Abu Dawud. kitab al-Libas, hadis no.4104).
Hadis ini dinilai dengan penilaian yang berbeda-beda oleh para pakar hadis. misalnya Abu Dawud menilai hadis ini mursal karena Khalid bin Duraik yang dalam sanadnya menyebut nama istri Nabi Aisyah r.a. secara pribadi, sedang ia tidak semasa dengan Aisyah (Dawud, t.th). Imam Muslim menyatakan hadis ini mursal, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah (Al-Nawawi, t.th). Selain Khalid bin Duraik, terdapat nama perawi lain yang juga dianggap bermasalah menurut pandangan pakar hadis, yaitu Said bin Basyir ada yang menilainya dha’if (Al-Asqalani, t.th:9). Sedangkan dari sisi matan, hadis ini juga ditolak karena tidak mungkin Asma’ yang terkenal sebagai wanita yang baik keberagamaan dan ketaqwaannya berani berpakaian tipis ketika menghadap Rasulullah saw (Ismail, t.th:339). Sedangkan al-Albani menilai hadis ini shahîh dengan alasan bahwa ada sekian banyak riwayat yang senada dengannya, sehingga hadis di atas dapat dinilai shahîh (Al-Albani, 1413 H:44). Hampir serupa dengan pendapat al-Albani, Syeikh Muhammad al-Ghazali yang juga menilai hadis ini mursal menegaskan bahwa karena dikuatkan oleh beberapa riwayat lainnya, hadis ini jauh lebih kuat dibanding hadis yang dijadikan dasar kewajiban menutup seluruh tubuh wanita. Selain itu ia juga berpendapat bahwa ada sebagian wanita pada masa jahiliyah dan juga pada masa Islam yang kadang-kadang menutupi wajah-wajah mereka seraya membiarkan mata mereka tanpa penutup. Perbuatan seperti ini menurutnya jelas termasuk adat-istiadat dan sama sekali tidak termasuk ibadah. Karena menurutnya tidak ada ibadah tanpa nash yang jelas (Al-Ghazali, 1989:55).
Kedua, hadis dari Abdullah bia Abbas r.a., ia berkata:
أَرْدَفَ رسُول اللهِ ص.م. الفضلَ بنَ العباَّسِ رضي الله عنهما يومَ النَّحْرِ خلفهُ على عَجُزِ راحِلَتِهِ و كان الفضلُ رجُلاً وضِيْئاً فوقفَ النبيُّ لِلناَّسِ يُفْتِيهِمْ, و أقْبلتِامرأةٌ مِنْ خثْعم وَضيئةً تستفْتِيْ رسُولَ اللهِ ص.م. فطِفقَ الفضلُ يَنظرُ إليها وأعجَبَهُ حَسْنُها فَلْتفتَ النبيُّ ص.م. و الفضلُ ينظرُ إليها, فأخلفَ بِيَدِهِ فأخذَ بِذَفْنِ الفضلِ فعدّلَ وجهَهُ عنِ النَّظْرِ إليها فقالتْ يا رسو لَ اللهِ, إنَّ فريضةَ اللهِ فِيْ الحجِّ على عِبادِهِ, أَدْرَكَْتُ أبِي شيخاً كبيراً لا يستطيعُ أَنْ يَسْتوِيَ على الرّاحِلةَِ, فهلْ يَقْضِي عنهُ أَنْ أحُجَّ؟ قال: نعمْ.

Rasulullah saw membonceng al-Fadhl putra al-Abbas r.a. pada hari an-Nahr (lebaran Haji) di belakang kendaraan (unta) beliau. Al-Fadhl adalah seorang pria yang berseri (gagah). Nabi saw berdiri memberi fatwa pada khalayak. Lalu datang seorang perempuan dari suku Khats’am, berseri (cantik) dan bertanya kepada Rasulullah saw. al-Fadhl terus-menerus memandangnya dan kecantikan wanita itu menakjubkannya, maka Nabi menoleh sedang al-Fadhl melihat kepada wanita itu, lalu Nabi memalingkan dengan tangan beliau dagu al-Fadhl, beliau memalingkan wajah al-Fadhl dari pandangan kepada wanita itu. lalu wanita itu berkata,Sesungguhnya kewajiban yang ditetapkan Allah atas hamba-hamba-Nya adalah haji, tetapi saya mendapatkan ayah saya dalam keadaan tua tidak mampu duduk di atas kendaraan, maka apakah boleh saya menghajikan untuknya?Nabi menjawab, “Ya.” (Bukhari, kitab al-Maghazi, hadis no.4048. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, dan lain-lain).
Para ulama tidak mempermasalahkan ke-shahih-an hadis ini, meskipun terjadi perdebatan panjang tentang makna hadis tersebut. Hadis ini menunjukkan bahwa terdapat bagian tubuh wanita yang dapat dilihat atau tidak harus ditutup, dalam hal ini menurut banyak ulama adalah wajah dan tangannya. Ulama yang menyatakan seluruh tubuh wanita aurat menolak pemahaman seperti itu. mereka berargumen dengan sederet alasan, diantaranya: Pertama, perbuatan Nabi saw memalingkan wajah al-Fadhl menunjukkan adanya larangan menampakkan wajah perempuan. Kalau hal itu dibolehkan, tentu Nabi saw tidak akan berbuat demikian. Kedua, bisa jadi kecantikan wanita dalam hadis tersebut diketahui melalui bentuk tubuhnya, atau jari-jarinya. Ketiga, kalaupun dikatakan bahwa wajah wanita itu terbuka, maka itu disebabkan karena dia dalam keadaan berihram. Sedangkan wanita yang berihram boleh membuka wajahnya.
Sementara ulama yang mengecualikan wajah dan telapak tangan bukan aurat menolak argumen tersebut dengan alasan bahwa perbuatan Nabi membalikkan wajah al-Fadhl bukan karena wajah wanita aurat, tetapi karena Nabi saw khawatir akan hadirnya setan yang menjerumuskan keduanya apabila pandangan dilanjutkan, apalagi keduanya adalah pemuda dan pemudi. Selain itu, wanita dinilai cantik dengan tanpa melihat wajahnya dan hanya melihat bentuk tubuhnya adalah hal yang mustahil, lagipula peristiwa itu terjadi di Mina (yakni di hari dan tempat penyembelihan kurban) yang berarti wanita itu telah ber-tahallûl dan melepas pakaian ihramnya.
Dalam mengomentari hadis ini Quraish Shihab berpendapat bahwa wanita dalam hadis itu terlihat cantik, tanpa menyatakan bahwa wajah dan telapak tangannya terbuka. Memang kecantikan sangat mudah hanya dapat diketahui dari wajah, sehingga kemungkinan terbukanya wajah wanita itu merupakan sesuatu yang sangat logis. Bahkan jika ada yang berkata bahwa selain wajahnya – misalnya setengah tangannya atau lebih dari itu terlihat pula – maka tidak dapat ditolak dengan hadis di atas (Shihab, 2006:107). Artinya bisa saja dikatakan bahwa kecantikan wanita itu terlihat jelas sedang ketika itu ia tidak menggunakan jilbab, dan pernyataan semacam ini tidak dapat disalahkan dengan hadis ini.
Selain hadis-hadis tersebut, masih ada sederet hadis-hadis lain yang selalu diikuti oleh perdebatan para ulama tentang interpretasinya. Namun yang dapat disimpulkan dari uraian di atas adalah bahwa para ulama masa lalu dan sebagian ulama kontemporer berbeda pendapat tentang apakah wajah dan telapak tangan aurat atau bukan, tetapi mereka sepakat bahwa rambut wanita adalah bagian dari aurat yang harus ditutup, kecuali bagi mahramnya.
Selain kedua pendapat di atas, masih ada lagi beberapa pendapat lain menyangkut aurat wanita – meskipun pendapat ini tidak popular, yaitu  wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki tidak termasuk aurat, ini adalah pendapat Ats-Tsauri dan Al-Muzani, ulama Hanafiyah serta Syi’ah Imamiyah menurut riwayat yang shahîh. Pendapat lainnya menyatakan hanya wajah saja yang tidak termasuk aurat, ini juga pendapat Imam Ahmad dalam satu riwayat dan pendapat Daud Al-Zhahiri serta sebagian Syi’ah Zaidiyah (Rusyd, t.th:138, Al-Syaukani, t.th:68).
Adapun Quraish Shihab cenderung menganggap bahwa semua kemungkinan yang dikemukakan oleh kedua kelompok ulama tersebut dapat saja terjadi, meskipun ia merasa sebagian dalih yang dikemukakan terkesan agak dibuat-buat. Menurutnya, jilbab – baik dengan membuka wajah atau menutupnya – pada masa Nabi saw, disamping dipercaya sebagai tuntunan agama juga telah merupakan tuntunan budaya (Shihab, 2006:118). Sekali lagi Quraish menegaskan bahwa interpretasi dalil atau dalih yang dikemukakan oleh para ulama tidak sampai pada batas yang dapat membuktikan secara pasti pendapat masing-masing (Shihab, 2006:111). Dengan kata lain, Quraish tidak menganggap bahwa ayat al-Qur’an maupun hadis di atas tidak bisa dijadikan dasar pendapat bahwa selain wajah dan kedua telapak tangan, seluruh bagian tubuh wanita adalah aurat. Di sini Quraish Shihab tampaknya mulai melepaskan diri dari pendapat-pendapat ulama terdahulu yang selama ini menghegemoni pandangan kaum muslimin tentang batas aurat.
Pendekatan dan Metode yang digunakan Quraish Shihab
Dalam membangun argumennya, Quraish Shihab menggunakan beberapa pendekatan dan metode yang biasa dipakai oleh para ulama dalam berijtihad, yaitu:
Pertama, Pendekatan Tarjih. Kalau pemaknaan tarjih oleh ulama kontemporer – yang mengartikan tarjih sebagai upaya menyeleksi beragam pendapat yang berasal  dari beragam madzhab, kemudian diambil pendapat yang rajih, berdasarkan kriteria yang telah ditentukan – dapat diterima, maka dapat dikatakan bahwa Quraish sebenarnya juga telah menerapkan pendekatan ini. Bahkan, kalau kita memakai definisi Coulson yang menyebut tarjih sebagai upaya takhayyur atau prinsip pilihan bebas (Coulson, 1964:185), maka dapat dipastikan bahwa Quraish Shihab telah menggunakan metode tarjih. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Quraish Shihab telah melemahkan semua dalil yang digunakan para ulama masa lalu dalam menetapkan batas aurat wanita dengan cara mengkritik satu-persatu keadaan sanad hadis yang menjadi dalil-dalil wajibnya jilbab, bahkan tidak hanya dari aspek sanad, tetapi juga dari segi cara-cara penafsiran-penafsiran yang dikemukakan para ulama  dianggapnya tidak sampai pada derajat yang meyakinkan. Setelah melakukan tarjih atas hadis-hadis itu ia berpendapat bahwa perbedaan pendapat para pakar masa lampau tentang batas-batas yang ditoleransi untuk terlihat dari wanita, membuktikan bahwa mereka tidak sepakat tentang nilai ke-shahîh-an riwayat-riwayat yang ada, dan ini sekaligus menunjukkan bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi itu bersifat zhanniy (dugaan) yang boleh jadi dinilai kuat oleh satu pihak dan dinilai lemah oleh pihak lain. Menurutnnya, seandainya terdapat hukum yang pasti yang bersumber dari al-Qur’an atau Sunnah, tentu mereka tidak akan berbeda dan tidak akan menggunakan nalar mereka dalam menentukan luas atau sempitnya batas-batas itu. selanjutnya ia menegaskan bahwa menutup seluruh kepala baru tegas menjadi wajib hanya jika para ulama bersepakat menilai shahîh hadis Aisyah r.a. yang mengecualikan wajah dan telapak tangan untuk terbuka. Sedangkan kenyataannya para ulama berbeda pendapat tentang nilai serta interpretasi hadis tersebut.
Kedua, Pendekatan ‘illat al-hukm. Secara bahasa,‘illat adalah suatu sebab dimana hukum itu diterapkan. Adapun syarat utamanya adalah suatu ‘illat hukum mesti jelas, konsisten dan sesuai dengan maqâshid syarî’ah, yaitu membawa kemaslahatan. Quraish Shihab menggunakan metode ini untuk memahami maksud QS. Al-Ahzab [33]: 59 yang memerintahkan wanita mengulurkan jilbab dengan tujuan membedakan antara wanita merdeka dengan hamba sahaya, atau antara wanita terhormat dengan yang tidak terhormat pada masa turunnya ayat tersebut, agar wanita terhormat tidak diganggu oleh lelaki usil. Adapun pada masa sekarang ketika perbudakan sudah tiada, dan pada konteks masyarakat tertentu keterhormatan atau ketidakterhormatan tidak disimbolkan dengan pakaian jilbab, maka jika demikian, yang penting dalam konteks pakaian wanita adalah memakai pakaian yang terhormat – sesuai dengan perkembangan budaya positif masyarakat terhormat – dan yang mengantar mereka tidak diganggu atau mengganggu dengan pakaiannya itu. di sisi lain, penampakan setengah betis telah menjadi kebiasaan umum dan tidak lagi menimbulkan rangsangan bagi masyarakat umum, dan juga tidak mengurangi keterhormatan seorang wanita. Sehingga berpakaian nasional dengan penampakan rambut serta setengah betis bagi wanita dapat dibenarkan. Hal itu disebabkan karena ketidaan ‘illat hukum dapat membatalkan diterapkannya hukum. ‘Illat seperti ini termasuk dalam dalalah syarahah, yaitu ‘illat yang disebutkan secara jelas oleh ayat jilbab tersebut.
Ketiga, Metode istihsan (bi al-‘Urf). Menurut penulis, Quraish Shihab tampak menggunakan metode istihsan (bi al-‘Urf) dalam argumennya. Yaitu ketika ia memahami kalimat illâ mâ zhahara minhâ, dan sampai pada pendapat bahwa sangat penting untuk menjadikan adat kebiasaan sebagai pertimbangan dalam penetapan hukum (dengan catatan adat tersebut tidak lepas kendali dari prinsip-prinsip ajaran agama serta norma-norma umum), dan menggunakan alasan diamnya ulama Indonesia pada masa lalu melihat cara berpakaian wanita muslimah yang cenderung tradisionalis (tanpa memakai jilbab) sebagai bentuk kesepakatan dari cara berpakaian wanita muslimah ketika itu, dan sampainya ia pada pendapat bahwa pakaian adat atau pakaian nasional yang biasa dipakai oleh putri-putri Indonesia yang tidak mengenakan jilbab tidak dapat dikatakan sebagai telah melanggar aturan agama, maka ia tampak menggunakan metode istihsan (bi al-‘urf).
Sikap Quraish Shihab Terhadap Pemikiran Ulama Kontemporer
Gerakan feminisme di Mesir pada pergantian abad diterangkan sebagai sebuah gerakan sekuler yang dibawakan bersama oleh wanita Muslim dan Kristen dari kelas atas dan pertengahan yang mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Mesir (Badran, 1995:13-16). Seorang cendikiawan Mesir terkenal yang dianggap oleh banyak orang sebagai pendiri feminisme dalam kebudayaan Arab adalah Qasim Amin (1803-1908 M). Tanggapan untuk bukunya Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Wanita) yang dipublikasikan tahun 1899 begitu kuat, dan bantahan terhadapnya juga begitu gencar. Pandangan dari dekat mengungkapkan bahwa Amin mengajak bukan pada reformasi feminis, tapi lebih pada sebuah perubahan sosial dan kultural fundamental bagi Mesir dan negara-negara muslim lainnnya. Pada pusat reformasi ini, yang diajukan sebagai kunci bagi perubahan dan kemajuan dalam masyarakat, terdapat ajakan untuk menghapuskan jilbab. Pandangan mengenai tidak wajibnya wanita muslimah berjilbab ini kemudian – menurut beberapa penulis – didukung oleh seorang tokoh pembaharu terkenal, Syeikh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Dan pada masa-masa berikutnya muncul cendikiawan dan ulama-ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini dengan memunculkan penafsiran-penafsiran yang bercorak bi ar-ra’yi dan sangat memperhatikan konteks perubahan sosial semacam Muhammad Thahir bin Asyur dan Muhammad Sa’id al-Asymawi.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah dapat dikatakan bahwa pandangan para ulama kontemporer turut mempengaruhi cara berpikir Quriash Shihab? Dalam beberapa hal, Quraish tampak menyepakati argumen-argumen para ulama pembaharu tersebut. Kesepakatan Quraish ini tampak pada lima hal, yaitu: Pertama, sebelum ia berkesimpulan tentang tidak wajibnya jilbab, sebelumnya ia telah bersandar pada nama Qasim Amin dan Syeikh Muhammad Abduh yang juga memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat ulama terdahulu tentang hukum jilbab. Quraish Shihab tampaknya memberikan dukungan dari segi metodologis, karena pendapat Qasim Amin tersebut dianggap memiliki dalil dan metode yang diakui dan biasa dipakai oleh para ulama untuk menetapkan hukum (Shihab, 2006:127). Kedua, terhadap argumen al-Asymawi, ketika ia memahami bahwa sebab turunnya ayat yang memerintahkan mengulurkan jilbab itu bertujuan membedakan antara wanita merdeka dan hamba sahaya, lalu menyatakan bahwa itulah ‘illat hukumnya, Quraish membenarkan pendapat tersebut seraya menyayangkan sikap para ulama yang menilainya hanya sebagai hikmah. Ketiga, al-Asymawi menolak dua hadis dari Aisyah yang dijadikan dasar kewajiban jilbab (dengan dua alasan, ada dua hadis ahâd dan redaksinya saling bertentangan). Menyikapi hal ini Quraish menyatakan bahwa kita tidak dapat memaksakan seseorang untuk menerima hadis yang menurutnya tidak shahîh, apalagi telah ada sekian banyak ulama masa lalu yang menolak hadis-hadis tersebut. Keempat, ketika mengomentari kalimat illâ mâ zhahara minhâ (kecuali apa yang nampak darinya), al-Asymawi berpendapat bahwa perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman dan kondisi masa serta masyarakat mereka, bukannya hukum yang jelas, pasti dan tegas. Pendapat ini diperkuat Quraish Shihab bahwa batas yang ditoleransi itu bersifat zhanniy (dugaan), dan seandainya ada hukum pasti dari al-Qur’an dan Sunnah, tentu mereka tidak akan berselisih pendapat. Beberapa poin di atas adalah bukti bahwa Quraish searah dengan pemikiran kelompok ulama kontemporer (Shihab, 2006:159,165,166 dan 168). Dan kelima, Quraish Shihab berpendapat bahwa jilbab tidak lebih dari ajaran budaya setempat, bukan ajaran syari’at Islam. Dan menurutnya, dengan mengutip perkataan Muhammad Thahir bin Asyur, bahwa adat kebiasaan suatu kaum tidak boleh – dalam kedudukannya sebagai adat – untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu (Asyur, 1999:233). Kemudian Ibnu Asyur – yang disepakati Quraish Shihab – memberikan beberapa contoh dari surat Al-Ahzab ayat 59, yang memerintahkan kaum mukminah agar mengulurkan jilbabnya. Asyur memberikan penjelasan kalau perintah mengulurkan jilbab adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak mendapatkan kewajiban (Shihab, 1996:178-179).
Kajian Kritis
Menurut pembacaan penulis, kata jilbab pada QS. Al-Ahzab [33]: 59 tidak dimaksudkan untuk menyembunyikan perempuan muslim dari laki-laki muslim, tetapi untuk membuat mereka tampak jelas, sehingga bisa dikenali atau dibedakan oleh laki-laki jahiliyah, karena itu jilbab merupakan bentuk perlindungan terhadap para wanita.
Bentuk pengakuan atau perlindungan ini berakar dari struktur sosial masyarakat yang melegalkan kepemilikan budak, dimana pelecehan seksual – terutama terhadap para budak – merupakan fenomena umum. Meskipun sangat memuakkan, praktik-praktik pengekangan terhadap perempuan bukan hanya terjadi di negeri Arab, praktik tersebut bahkan dipandang normal pada masa itu. Dalam masyarakat kuno, wanita-wanita yang lalu lalang di depan publik dipandang sebagai pelacur. Karenanya dalam masyarakat semacam itu, ketentuan tentang jilbab berfungsi untuk membedakan perempuan yang berada di bawah perlindungan laki-laki dan perempuan yang bersedia dilecehkan secara seksual (Ahmed, 1992:15). Jadi dalam menetapkan ketentuan tentang jilbab, al-Qur’an secara eksplisit mengaitkan jilbab dengan masyarakat yang mengakui sistem perbudakan, dimana pelecehan perempuan oleh laki-laki nonmuslim sudah lumrah terjadi, dan tujuannya adalah untuk membedakan perempuan beriman yang merdeka dari para budak, yang biasanya dipandang oleh laki-laki jahiliyah sebagai perempuan nonmuslim sehingga dapat mereka perlakukan semau mereka.
Jadi, hanya dalam masyarakat jahiliyah yang mengakui sistem perbudakan itulah jilbab menandakan perlindungan dari pelecehan seksual, dan itupun sekiranya laki-laki jahiliyah mau memaknainya dengan cara seperti itu. konsekwensinya, meskipun dipakai oleh perempuan muslimah, jilbab menggambarkan fenomena pelecehan dan kebebasan seksual laki-laki jahiliyah pada masa ketika perempuan tidak memiliki perlindungan hukum atas pelecehan seksual, dan harus mengandalkan diri sendiri untuk melindunngi dirinya. Lebih jauh, seperti yang dinyatakan dengan tegas dalam ayat tersebut, pada masa pewahyuannya, beberapa laki-laki jahiliyah melancarkan propaganda terhadap kaum muslimin (termasuk juga upaya melecehkan istri Nabi, Aisyah r.a. dengan cara menyerang integritas pribadinya). Jadi, perempuan muslimah memiliki alasan ganda untuk bersikap hati-hati terhadap pelecehan oleh laki-laki nonmuslim.
Selama meneliti pemikiran Quraish Shihab tentang masalah jilbab ini, penulis mencatat beberapa poin yang penulis anggap sebagai kelebihan dan beberapa poin lagi yang penulis anggap sebagai kelemahan terhadap pemikirannya.
Adapun kelebihannya diantaranya: Pertama, Kalau kita lihat dari sisi ‘urf  bahasa, sebelum ayat 31 surat an-Nur, yaitu ayat 27 hingga 29 membicarakan tentang anjuran meminta izin terlebih dahulu ketika hendak memasuki rumah orang lain. Sedangkan pada ayat 32 (setelah ayat jilbab) membicarakan tentang anjuran membantu laki-laki atau wanita yang belum kawin dengan hamba sahaya (agar terhapus perbudakan). Berdasarkan ‘urf bahasa, kalau ayat sebelum dan sesudah ayat jilbab (ayat 31) tersebut berbicara tentang anjuran, maka ayat jilbab pun juga membicarakan tentang anjuran, bukan kewajiban. Hal tersebut didukung dengan kenyataan bahwa semua ayat baik sebelum maupun sesudah ayat jilbab, selalu dihubungkan dengan bentuk kata hubung wa. Sedang kata wa sebagaimana yang disepakati ahli bahasa, memiliki bentuk penekanan yang sama. Kedua, Hadis mursal adalah dha’if dan tidak bisa dijadikan hujjah. Ini adalah pendapat mayoritas ahli hadis. Pada dasarnya para ulama tidak mempermasalahkan tentang gugurnya periwayat dari tingkat sahabat, tetapi karena adanya kemungkinan yang gugur dalam urutan periwayatan hadis mursal tersebut adalah dari tingkat tabi’in. Ketiga, tidak ada pengharaman kecuali dengan nash yang shahîh dan sharîh. Pada dasarnya manusia terbebas dari tanggungan dan taklif (beban tugas), dan tidak ada taklif kecuali dengan nash yang pasti. Karena itu, masalah mewajibkan dan mengaharamkan dalam agama merupakan suatu urusan yang serius, tidak boleh sembarangan. Sehingga apa yang tidak diwajibkan oleh Allah, atau tidak diharamkan oleh-Nya, maka manusia tidak boleh mewajibkan atau mengharamkannya. Tampaknya pendapat Quraish Shihab sejalan dengan kaidah fiqih berikut:
المشكوك في وجوبه لايجب فعله
Yang meragukan tentang hukum wajibnya, maka tidak wajib dilakukan” (Taimiyah, 1422 H:265).
Selain beberapa kesepakatan tersebut, ada beberapa poin yang menjadi bahan kritikan peneliti terhadap argumen-argumen Quraish Shihab. Pertama, Quraish Shihab menyatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah (Shihab, 2006:180). Pendapat itu memang benar, akan tetapi para ulama masa lalu tidak berselisih tentang wajibnya jilbab. Sebagaimana yang telah dijelaskan Quraish sendiri bahwa para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas aurat wanita. Mereka terbagi menjadi dua kelompok: Pertama, kelompok yang menyatakan seluruh tubuh wanita aurat; Kedua, kelompok yang menyatakan seluruh tubuh wanita aurat, kecuali wajah dan telapak tangan (Shihab, 2006:94). Artinya para ulama sepakat bahwa memakai jilbab adalah wajib, mereka hanya berbeda pendapat dalam masalah apakah wajah dan telapak tangan termasuk aurat atau tidak. Kecuali kalau Quraish Shihab memasukkan ulama kontemporer tentu dapat dibenarkan bahwa jilbab adalah masalah khilafiyah. Namun jika yang dimaksud adalah ulama masa lalu, maka tentu kurang tepat. Kedua, pemaparan Quraish Shihab tampak tidak seimbang. Sebab Quraish lebih banyak menyebutkan pendapat para ulama yang mewajibkan jilbab secara singkat tanpa menjelaskan argumen-argumen mereka secara memadai, sebaliknya ia hanya menyebut beberapa saja dari para ulama dan cendikiawan yang tidak mewajibkan jilbab, meskipun dengan mengemukakan argumen-argumen mereka yang sangat panjang. Hal seperti ini menurut penulis jika dilihat dari sudut pandang ilmiah dapat menurunkan objektifitas Quraish Shihab sebagai pemikir yang benar-benar ingin menyampaikan kebenaran.
KESIMPULAN
Quraish Shihab tidak mewajibkan wanita muslimah di Indonesia memakai jilbab. Menurutnya, memakai jilbab bukanlah termasuk perintah agama, karena tidak boleh dikatakan syari’at tanpa nash yang jelas. Sedangkan pendekatan yang digunakan Quraish adalah pendekatan tarjih dan pendekatan ‘illat al-hukm, serta metode istihsan bi al-‘urf. Pandangan Quraish Shihab juga dipengaruhi oleh pemikiran para pembaharu dan cendikiawan kontemporer seperti Qasim Amin, Muhammad Abduh, Sa’id al-Asymawi, serta Thahir bin Asyur.
Beberapa hal yang menulis sepakati dari argumen Quraish adalah kesesuaiannya dengan ‘urf bahasa, tidak menggunakan hadis mursal sebagai dalil hukum, serta tidak mengharamkan kecuali dengan nash yang shahîh dan sharîh. Adapun kritikan penulis terhadap argumen Quraish Shihab adalah pernyataannya bahwa masalah batas aurat wanita adalah masalah khilafiyah. Itu memang benar, tetapi para ulama masa lalu sepakat tentang wajibnya rambut wanita ditutup baik di dalam maupun diluar sholat. Selain itu pemaparan Quraish Shihab juga tampak tidak seimbang. Sebab Quraish lebih banyak menyebutkan pendapat para ulama yang mewajibkan jilbab secara singkat tanpa menjelaskan argumen-argumen mereka secara memadai, sebaliknya ia hanya menyebut beberapa saja dari para ulama dan cendikiawan yang tidak mewajibkan jilbab, meskipun dengan mengemukakan argumen-argumen mereka yang sangat panjang.
Demikian uraian panjang mengenai pemikiran Quraish Shihab tentang jilbab. Namun sebelum penulis mengakhiri hasil kajian ini, penulis menangkap kesan bahwa selama ini, kita hampir tidak bisa membedakan mana budaya Arab dan mana ajaran Islam. Ketidakpahaman itu berakibat pada sikap sementara umat Islam yang rejektif terhadap budaya yang ada. Konsekwensinya Islam terasa sempit dan kaku. Menutup aurat merupakan ajaran Islam yang baku dan mesti dilakukan dimanapun. Ini merupakan contoh Islamisasi. Bagaimana cara menutup aurat? Islam memberikan kebebasan untuk memilihnya. Namun yang jelas menurut penulis, masalah menutup aurat diserahkan kepada adat masyarakat setempat.





Daftar Pustaka
Ahmed, Leila, 1992, Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate, New Haven, Connecticut: Yale University Press.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, 1413 H, Jilbab al-Mar’ah al-Muslimat fi al-Kitab wa As-Sunnah, Yordan: Maktabah al-Islamiyah, cet.2.
Al-Alusi, Mahmud, 1985, Ruh al-Ma’ani, Kairo: Al-Muniriyah, cet.4, jilid 22.
Al-Arabi, Ibn, 1958, Ahkam Al-Qur’an: Tahqiq Ali Muhammad al-Bajawy, Mesir: Dar al-Halabi, cet.1, jilid 3 dan 4.
Al-Asqalani, Ahmad Ibnu Hajar,  t.th, Fath al-Bari. (Beirut: Dar al-Ma’rifah, cet. 2, Jilid 8.
—————————————–, t.th, Tahdzib al-Tahdzib, Tahqiqi Musthafa Abdul Qadir Atha’, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid 4.
Al-Asymawi, Muhammad Sa’id, 1995, Haqiqat al-Hijab wa Hujjiyat al-Hadits, Mesir: Madbuli As-Shaghir, 1995, cet.2.
Al-Biqa’i, Ibrahim bin Umar, 1995, Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet.1, jilid 6.
Al-Dimsiqy, Imaduddin Ismail Ibn Amr Ibn Katsir al-Quraisy, t.th, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, Mesir: Dar Al-Halabiy.
Al-Ghazali, Muhammad, 1989, As-Sunnah An-Nabawiyah: Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, Kairo: Dar Asy-syuruq, cet.5.
Al-Khazin, Abdullah Ibn Muhammad, 1399 H, Lubab Al-Ta’wil fi Ma’ani Al-Tanzil, Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Nawawi, t.th, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy, Mekkah: Maktabah Dar al-Baz, jilid 1.
Al-Qurthubi, Muhammad Ibn Ahmad al-Anshari, 1998, Al-Jami’ li al-Ahkam Al-Qur’an. t.tp: Dar Ulum Al-Qur’an, Jilid 12 dan 14.
Al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir, 1972, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut: Dar al-Ma’rifah,  juz 18.
———————————————————–, t.th, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Libanon: Dar al-Fikr, jilid 3.
Asyur, Muhammad Ath-Thahir Ibn, 1999, Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyyah, Malaysia: Dar al-Fajr.
———————————————-, t.th, Tafsir al-Tahrir wa at-Tanwir, Tunisia: Ad-Dar at-Tunisiyah Li an-Nasyr, Jilid 18.
Badran, Margot, 1995, Feminist, Islam and Nation: Gender and the Making of Modern Egypt,  Princeton NJ: Princeton University Press, 1995).
Coulson, Noel J. 1964, A History of Islamic Law, Edinburg: Edinburg University Press.
Dawud, Abu, t.th, Tahqiqi Muhammad Abdul Aziz al-Khalidi, Beirut: Dar as-Sunnah an-Nabawiyah, jilid 3.


Husein, Muhammad, 1968, Al-Ittijahad al-Wathaniyyah fi al-Adab al-Mu’ashir, Mesir: An-Numudzajiyyat, cet. 2.
Ismail, Muhammad Ahmad, t.th, Audat al-Hijab, Riyadh: Dar ath-Thibah, jilid 3.
Katsir, Abu al-Fida’ al-Wafa Ismail Ibn, 1986, Tafsir Ibn Katsir, Beirut: Dar al-Fikr, jilid 3.
Rusyd, Ibn, t.th, Bidayah al-Mujtahid, Kairo: Maktabah Al-Kulliyah Al-Azhariyah, Jilid I.
Shihab, Quraish, 1994, Membumikan Al-Qur’an, Jakarta : Mizan.
———————, 1996, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Mawdhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan.
———————, 2004, Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah, Jakarta: Lentera Hati.
———————, 2006, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.
Syaukani, Muhammad, t.th, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Fikr.


Jumat, 17 Oktober 2014

Hukum Aborsi Dalam Islam

Add caption

Hukum Aborsi Dalam Islam


 وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالحَقِّ
“ Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. “ ( Q.S. Al Israa’: 33 )
Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan di luar pernikahaan, terutama para pelajar dan mahasiswa hari ini sudah sampai batas yang sangat mengkawatirkan. Ini akibat hilangnya nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat, ditambah dengan gencarnya mass media yang menawarkan kehidupan glamor, bebas dan serba hedonis yang menyebabkan generasi muda terseret dalam jurang kehancuran.
Pacaran sudah menjadi aktivitas yang lumrah, bahkan sebagian orang tua mlinder dan merasa malu jika anaknya tidak mempunyai pacar, karena menurut pandangan mereka orang yang tidak pacaran, adalah orang yang tidak bisa bergaul dan masa depannya suram,serta susah mencari jodoh. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya melakukan hubungan seks di luar pernikahan dan hamil, kemudian berakhir dengan pengguran kandungan dengan paksa.
Data statistis BKBN ( Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) menunjukkan bahwa sekitar 2.000.000 kasus aborsi terjadi setiap tahun di Indonesia. Untuk kasus aborsi di luar negeri – khususnya di Amerika –  data-datanya telah dikumpulkan oleh dua badan utama, yaitu Federal Centers for Disease Control (CDC) dan Alan Guttmacher Institute (AGI) yang menunjukkan hampir 2 juta jiwa terbunuh akibat aborsi. Jumlah ini jauh lebih banyak dari jumlah nyawa manusia yang dibunuh dalam perang manapun dalam sejarah negara itu. Begitu juga lebih banyak dari kematian akibat kecelakaan, maupun akibat penyakit . ( Aborsi.com )
Dengan demikian, aborsi secara umum merupakan perbuatan keji, tidak berperikemanusiaan dan bertentangan hukum dan ajaran agama.
Walaupun demikian, hukum Aborsi secara khusus perlu dikaji secara lebih mendalam, karena Aborsi bukanlah dalam satu bentuk, tetapi mempunyai berbagai macam. Sementara itu Islam bukanlah agama yang kaku, tetapi agama yang memandang kehidupan manusia ini dari berbagai sudut, sehingga ditemukan di dalamnya solusi ats segala problematika yang dihadapi oleh manusia.
Pengertian Aborsi dan Pembagiannya

Aborsi menurut pengertian medis adalah mengeluarkan hasil konsepsi atau pembuahan,  sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibunya.
Sedang menurut bahasa Arab disebut dengan al-Ijhadh yang berasal dari kata “ ajhadha - yajhidhu “ yang berarti wanita yang melahirkan anaknya secara paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaannya. Atau juga bisa berarti bayi yang lahir karena dipaksa atau bayi yang lahir dengan sendirinya. Aborsi di dalam istilah fikih juga sering disebut dengan “ isqhoth “ ( menggugurkan ) atau “ ilqaa’ ( melempar ) atau “ tharhu “ ( membuang )  (  al Misbah al Munir  , hlm : 72 )
Aborsi tidak terbatas pada satu bentuk, tetapi  aborsi mempunyai banyak macam dan bentuk,  sehingga untuk menghukuminya tidak bisa disamakan dan dipukul rata. Diantara pembagiaan Aborsi adalah sebagai berikut :

Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa makna Aborsi adalah pengguguran. Aborsi ini dibagi menjadi dua :
Pertama : Aborsi Kriminalitas adalah aborsi yang dilakukan dengan sengaja karena suatu alasan dan bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
Kedua : Aborsi Legal, yaitu Aborsi yang dilaksanakan dengan sepengetahuan pihak yang berwenang.
Menurut medis Aborsi dibagi menjadi dua juga :
1.      Aborsi spontan ( Abortus Spontaneus ), yaitu aborsi secara secara tidak sengaja dan berlangsung alami tanpa ada kehendak dari pihak-pihak tertentu. Masyarakat mengenalnya dengan istilah keguguran.
2.      Aborsi buatan ( Aborsi Provocatus ), yaitu aborsi yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan tertentu. Aborsi Provocatus ini dibagi menjadi dua :
a.      Jika bertujuan untuk kepentingan medis dan terapi serta pengobatan, maka disebut dengan Abortus Profocatus Therapeuticum
b.      Jika dilakukan karena alasan yang bukan medis dan melanggar hukum yang berlak, maka disebut Abortus Profocatus Criminalis
Yang dimaksud dengan Aborsi dalam pembahasan ini adalah : menggugurkan secara paksa janin yang belum sempurna penciptaannya atas permintaan atau kerelaan ibu yang mengandungnya .

Pandangan Islam Terhadap Nyawa, Janin dan Pembunuhan

Sebelum menjelaskan secara mendetail tentan hukum Aborsi, lebih dahulu perlu dijelaskan tentang pandangan umum ajaran Islam tentang nyawa, janin dan pembunuhan, yaitu sebagai berikut :

Pertama: Manusia  adalah ciptaan Allah yang mulia, tidak boleh dihinakan baik dengan merubah ciptaan tersebut, maupun mengranginya dengan cara memotong sebagiananggota tubuhnya, maupun dengan cara memperjual belikannya, maupun dengan cara menghilangkannya sama sekali yaitu dengan membunuhnya, sebagaiman firman Allah swt : .
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan umat manusia “ ( Qs. al-Isra’:70)
Kedua: Membunuh satu nyawa sama artinya dengan membunuh semua orang. Menyelamatkan satu nyawa sama artinya dengan menyelamatkan semua orang.
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara keselamatan nyawa seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara keselamatan nyawa manusia semuanya.” (Qs. Al Maidah:32)

Ketiga: Dilarang membunuh anak ( termasuk di dalamnya janin yang masih dalam kandungan ) , hanya karena takut miskin. Sebagaimana firman Allah swt :
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم إنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْءًا كَبِيرًا
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar.” (Qs al Isra’ : 31)
Keempat : Setiap janin yang terbentuk adalah merupakan kehendak Allah swt, sebagaimana firman Allah swt
وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاء إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا

“Selanjutnya Kami dudukan janin itu dalam rahim menurut kehendak Kami selama umur kandungan. Kemudian kami keluarkan kamu dari rahim ibumu sebagai bayi.” (QS al Hajj : 5)
Kelima : Larangan membunuh jiwa tanpa hak, sebagaimana firman Allah swt :
وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالحَقِّ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan alasan yang benar “ ( Qs al Isra’ : 33 )
Hukum Aborsi Dalam Islam.

Di dalam teks-teks al Qur’an dan Hadist tidak didapati secara khusus hukum aborsi, tetapi yang ada adalah larangan untuk membunuh jiwa orang tanpa hak, sebagaimana firman Allah swt :
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“ Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam, dan dia kekal di dalamnya,dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan baginya adzab yang besar( Qs An Nisa’ : 93 )

Begitu juga hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
إِنََّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ
Sesungguhnya seseorang dari kamu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah  segumlah darah beku. Ketika genap empat puluh hari ketiga , berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus malaikat   untuk meniupkan roh, serta memerintahkan untuk menulis empat perkara, yaitu penentuan rizki, waktu kematian, amal, serta nasibnya, baik yang celaka, maupun yang bahagia. “ ( Bukhari dan Muslim )

Maka, untuk mempermudah pemahaman, pembahasan ini bisa dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut :
  1. Menggugurkan Janin Sebelum Peniupan Roh
Dalam hal ini, para ulama berselisih tentang hukumnya dan terbagi menjadi tiga pendapat :
Pendapat Pertama :
Menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya boleh. Bahkan sebagian dari ulama membolehkan menggugurkan janin tersebut dengan obat. ( Hasyiat Al Qalyubi : 3/159 )
Pendapat ini dianut oleh para ulama dari madzhab Hanafi, Syafi’I, dan Hambali.  Tetapi kebolehan ini disyaratkan adanya ijin dari kedua orang tuanya,( Syareh Fathul Qadir : 2/495 )
Mereka berdalil dengan hadist Ibnu Mas’ud di atas yang menunjukkan bahwa sebelum empat bulan, roh belum ditiup ke janin dan penciptaan belum sempurna, serta dianggap benda mati, sehingga boleh digugurkan.

Pendapat kedua :
Menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya makruh. Dan jika sampai pada waktu peniupan ruh, maka hukumnya menjadi haram.
Dalilnya bahwa waktu peniupan ruh tidak diketahui secara pasti, maka tidak boleh menggugurkan janin jika telah mendekati waktu peniupan ruh , demi untuk kehati-hatian . Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama madzhab Hanafi dan Imam Romli salah seorang ulama dari madzhab Syafi’I . ( Hasyiyah Ibnu Abidin : 6/591Nihayatul Muhtaj : 7/416 )
Pendapat ketiga :
Menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya haram. Dalilnya bahwa  air mani sudah tertanam dalam rahim dan telah bercampur dengan ovum wanita sehingga siap menerima kehidupan, maka merusak wujud ini adalah tindakan kejahatan . Pendapat ini dianut oleh Ahmad Dardir , Imam Ghozali dan Ibnu Jauzi ( Syareh Kabir : 2/ 267, Ihya Ulumuddin : 2/53, Inshof : 1/386)
Adapun status janin yang gugur sebelum ditiup rohnya (empat bulan) , telah dianggap benda mati, maka tidak perlu dimandikan, dikafani ataupun disholati. Sehingga bisa dikatakan bahwa menggugurkan kandungan dalam fase ini tidak dikatagorikan pembunuhan, tapi hanya dianggap merusak sesuatu yang bermanfaat.
Ketiga pendapat ulama di atas tentunya dalam batas-batas tertentu, yaitu jika di dalamnya ada kemaslahatan, atau dalam istilah medis adalah salah satu bentuk Abortus Profocatus Therapeuticum, yaitu jika bertujuan untuk kepentingan medis dan terapi serta pengobatan. Dan bukan dalam katagori Abortus Profocatus Criminalis, yaitu yang dilakukan karena alasan yang bukan medis dan melanggar hukum yang berlaku, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
  1. Menggugurkan Janin Setelah Peniupan Roh

Secara umum, para ulama telah sepakat bahwa menggugurkan janin setelah peniupan roh hukumnya haram. Peniupan roh terjadi ketika janin sudah berumur empat bulan dalam perut ibu, Ketentuan ini berdasarkan hadist Ibnu Mas’ud di atas. Janin yang sudah ditiupkan roh dalam dirinya, secara otomatis pada saat itu, dia  telah menjadi seorang manusia, sehingga haram untuk dibunuh. Hukum ini berlaku jika pengguguran tersebut dilakukan tanpa ada sebab yang darurat.
Namun jika disana ada sebab-sebab darurat, seperti jika sang janin nantinya akan membahayakan ibunya jika lahir nanti, maka dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:
Pendapat Pertama :
Menyatakan bahwa menggugurkan janin setelah peniupan roh hukumnya tetap haram, walaupun diperkirakan bahwa janin tersebut akan membahayakan keselamatan ibu yang mengandungnya. Pendapat ini dianut oleh Mayoritas Ulama.
Dalilnya adalah firman Allah swt :
وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالحَقِّ
“ Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. “ ( Q.S. Al Israa’: 33 )
Kelompok ini juga mengatakan bahwa kematian ibu masih diragukan, sedang keberadaan janin merupakan sesuatu yang pasti dan yakin, maka sesuai dengan kaidah fiqhiyah : “ Bahwa sesuatu yang yakin tidak boleh dihilanngkan dengan sesuatu yang masih ragu.”, yaitu tidak boleh membunuh janin yang sudah ditiup rohnya yang merupakan sesuatu yang pasti , hanya karena kawatir dengan kematian ibunya yang merupakan sesuatu yang masih diragukan. ( Hasyiyah Ibnu Abidin : 1/602 ).

Selain itu, mereka memberikan permitsalan bahwa jika sebuah perahu akan tenggelam, sedangkan keselamatan semua perahu tersebut bisa terjadi jika sebagian penumpangnya dilempar ke laut, maka hal itu juga tidak dibolehkan.
Pendapat Kedua :
Dibolehkan menggugurkan janin walaupun sudah ditiupkan roh kepadanya, jika hal itu merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan ibu dari kematian. Karena menjaga kehidupan ibu lebih diutamakan dari pada menjaga kehidupan janin, karena kehidupan ibu lebih dahulu dan ada secara yakin, sedangkan kehidupan janin belum yakin dan keberadaannya terakhir.( Mausu’ah Fiqhiyah : 2/57 )
Prediksi tentang keselamatan Ibu dan janin bisa dikembalikan kepada ilmu kedokteran, walaupun hal itu tidak mutlak benarnya. Wallahu A’lam.


Dari keterangan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa para ulama sepakat bahwa Abortus Profocatus Criminalis, yaitu aborsi kriminal yang menggugurkan kandungan setelah ditiupkan roh ke dalam janin tanpa suatu alasan syar’I hukumnya adalah haram dan termasuk katagori membunuh jiwa yang diharamkan Allah swt.

Adapun aborsi yang masih diperselisihkan oleh para ulama adalah Abortus Profocatus Therapeuticum, yaitu aborsi yang bertujuan untuk penyelamatan jiwa, khususnya janin yang belum ditiupkan roh di dalamnya.

Jakarta, 23 Juli 2008

Jumat, 26 September 2014

Pernikahan Beda Agama Dalam Sudut Pandangan Islam

Makalah Perkawinan Beda Agama Dalam Sudut Pandang Islam

Makalah Perkawinan Beda Agama Dalam Sudut Pandang Islam-- Selamat datang di situs Kumpulan Informasi Pendidikan ini hari Kumpulan Informasi Pendidikan akan membahas tentang perkawaninan atau Pernikahan antar agama atau beda agama dalam bentuk makalah.

Pernikahan memang sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu semua orang pernikahan itu sendiri adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Memandangi sisi gelap dunia. Semakin terasa akan sebuah kerancuan dalam hidup. Tidak ada alasan lain yang menyebabkan hal tersebut terjadi, kecuali karena memudarnya iman umat islam sekarang ini. Kehidupan mereka terus saja berlanjut tanpa mereka arahkan dengan ajaran islam yang terkandung dalam wahyu Allah. Yang ada dalam pikiran mereka semua hanyalah akan hasil yang sejatinya hanya sebatas sementara akan mereka rasakan dan dapatkan.

Contoh konkritnya kita ambil masalah Pernikahan. Suatu hal yang sering menjadi bagian dari kehidupan para insan selama di dunia ini. Akan tetapi sangat disayangkan, pernikahan yang terjadi sekarang kebanyakan adalah pernikahan dalam perbedaan agama. Kenyataannya sampai saat ini, pernikahan salah aturan ini semakin lama menjadi gejala yang semakin umum di dalam kehidupan masyarakat di negeri ini. Dengan semakin banyak dan semakin diterimanya pernikahan beda agama di negara yang konon katanya merupakan negara dengan jumlah penganut agama Islam terbesar di dunia dan adanya fakta bahwa terjadi pro kontra di dalam kalangan umat Islam sendiri dalam menyikapi masalah pernikahan beda agama ini. Karena hal tersebutlah, maka patutlah hal ini ditulis. Agar tak berlangsung akan kesalahan yang telah terlampau dibiarkan terjadi ini.

Sebagai umat yang mengaku beragama Islam, beriman kepada Allah dan juga beriman kepada kitab suci Al Qur’an. Maka sudah selayaknya Al Qur’an yang dijadikan sebagai referensi utama. Sebelum bertindak yang hanya berkaca pada suatu kebiasaan belaka. Demi keselamatan umat islam selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka makalah ini secara husus membahas permasalahan sebagai berikut:
1. Apa itu nikah, tujuan dan fungsinya?
2. Apa yang dimaksud dengan dalam perbedaan agama?
3. Bagaimana alqur’an dan al-hadist menyikapi pernikahan beda agama ini?
4. Dampak negative dari pernikahan dalam perbedaan agama


1.3 Tujuan penulisan
Dalam penulisan makalah ini, tersimpan berbagai tujuan yang sangat penting untuk umat islam, khususnya masyakat Indonesia. Terutama kita sebagai generasi islam yang memiliki amanah untuk terus memperjuangkan nilai-nilai yang terkandung didalam al-Qur’an dan al-Hadist dalam pelaksanaan prilaku sehari-hari juga tentang hokum-hukum yang terkait dengan ajaran dalam al-kitab dab as-sunnah. Maka, karena hal tersebuit. Perlulah kiranya kita sebagai pemuda islami kembali mencoba lebih memahami apa yang yang terkandung dalam islam. Terutama tentang pernikahan yang memang tidak kan menjadi luput akan menjadi bagian dari hidup kita.

 Mengklarifikasi pengertian diatas maka, tujuan kepenulisan ini adalah:
1. Mengetahui apa itu nikah, tujuan serta manfaatnya bagi setiap insan dalam kehidupannya
2. Mengetahui apa yang harus kita lakukan ketika dihadapkan pada permasalahan atau pada suatu hal yang berhubungan dengan masalah pernikahan
3. tidak membiarkan serta tidak mempraktekkan apa yang telah menjadi larangan didalam kitab al-Qur’an

1.4 Manfaat Penulisan
Sudah terlampau banyak hal yang menjadi larangan terjadi di dunia ini, hususnya di Indonesia. Termasuk tentang nikah. Atau dalam pernikahan. Sudah banyak umat yang tidak memperhatikan al-qur’an dan al-hadist sebagai tuntunan bagi setiap gerak dan tingkah dalam hidupnya. Sehingga tak ayal, terjadilah keamburadulan dalam kehidupannya.
Maka dari hal itu, penulisan ini, guna untuk mengajak semua umat islam untuk kembali menyadarkan dirinya, kembali menatap serta mengilhami isi dalam al-qur’an dan al-hadist. Agar apa yang akan mereka sikapi tidak salah kaprah dalam kacamata agama mereka sendiri. Termasuk, dalam memilih calon pendamping hidup. Suami atau isteri-isteri mereka. Dimana dalam ajaran islam, yang pantas menjadi pendamping mereka adalah yang seagama dengan diri mereka.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Nikah
Arti Nikah Menurut bahasa: berkumpul atau menindas. Adapun menurut istilah Ahli Ushul, Nikah menurut arti aslinya ialah aqad, yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan, sedangkan menurut arti majasi ialah setubuh. Demikian menurut Ahli Ushul golongan Syafi’iyah. Adapun menurut Ulama Fiqih, Nikah ialah aqad yang di atur oleh Islam untuk memberikan kepada lelaki hak memiliki penggunaan terhadap faraj (kemaluan) dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan utama.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.

2.2 Hukum dan Pelaksanaan Nikah
Hukum nikah menurut asalnya (taklifiyah) adalah mubah. Yakni tidak mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.

Nikah menurut majasi (wadl’iyah) ada empat kemungkinan:
1. Kemungkinan bisa menjadi Sunnah bila Nikah menjadikan sebab ketengan dalam beribadah. Mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.
2. Kemungkinan bisa menjadi wajib bila Nikah menghindarkan dari perbuatan zina dan dapat meningkatkan amal ibadah wajib. Mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.
3. Kemungkinan bisa menjadi haram bila nikah yakin akan menimbulkan kerusakan. Mendapat ancaman siksa bagi orang yang mengerjakan dan dan mendapat pahala bagi orang yang meninggalkan.
4. Kemungkinan bisa menjadi makruh karena berlainan kufu. Mendapat pahala bagi orang yang meninggalkan dan tidak mendapat ancaman bagi orang yang mengerjakan.

Menurut hukum Islam, praktik Nikah ada tiga perkara:
1. Nikah yang sah ialah: pelaksanaan akad nikah secara benar menurut tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan, dan mengetahui ilmunya. Nikah seperti ini mendapat pahala dari Allah SWT.
2. Nikah yang sah tetapi haram ialah: Pelaksanaan akad nikah secara benar sesuai tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan tetapi tidak mengetahui ilmunya. Praktik nikah seperti ini jelas berdosa.
3. Nikah yang tidak sah dan haram ialah: Pelaksanaan akad nikah yang tidak sesuai tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan, karena tidak mengetahui ilmunya dan praktiknya juga salah. Selain tidak benar praktik nikah seperti ini mengakibatkan berdosa.

2.3 Dasar Pernikahan Menurut Agama Islam
A. Dasar Hukum Agama Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 24-An Nuur : 32)
"Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan mereka yang berpekerti baik. Termasuk hamba-hamba sahayamu yang perempuan."
B. Tujuan Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 30-An Ruum : 21)
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."

2.4 Tujuan Pernikahan Dalam Agama Islam
a. Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi.
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan). Bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang seperti: berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang jauh dan diharamkan oleh Islam.

b. Untuk membentengi ahlak yang luhur.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan serta melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih Menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).

c. Untuk menegakkan rumah tangga yang islami.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian). Jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zhalim”. (Al-Baqarah : 229).

Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam lanjutan ayat di atas: “Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dinikahkan dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk nikah kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (Al-Baqarah: 230).

Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal yaitu: (a) sesuai kafa’ah; dan (b) shalih dan shalihah.

d. Memilih yang shalih dan shalihah
Lelaki yang hendak menikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih. Menurut Al-Qur’an: “Wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, olkeh karena Allah telah memelihara (mereka)”. (An-Nisaa : 34). Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah : “Ta’at kepada Allah, ta’at kepada Rasul, memakai jilbab (pakaian) yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32).

Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, ta’at kepada orangtua dalam kebaikan, ta’at kepada suami dan baik kepada dan lain sebagainya”. Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.

e. Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain. Sampai-sampai bersetubuh (berhubungan suami-istri) pun termasuk ibadah (sedekah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!.” Mendengar sabda Rasulullah itu para shahabat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? “Jawab para shahabat : “Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim, Ahmad dan Nasa’i dengan sanad yang Shahih).

f. Untuk mencari keturunan yang shalih dan shalihah.
Tujuan pernikahan diantaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam. Allah berfirman: “Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”. (An-Nahl : 72).

Yang tak kalah pentingnya, dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas yaitu mencetak anak yang shalih dan Shalihah serta bertaqwa kepada Allah SWT. Keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan tarbiyah Islam (pendidikan Islam) yang benar. Disebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan Islam”, tetapi isi dan metodanya tidak Islami.

Sehingga banyak terlihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami sebagai akibat pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.

Islam memandang bahwa pembentukan keluarga merupakan salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.

2.5 Hikmah Sebuah Pernikahan
Allah tidak akan pernah memerintahkan kepada hambaNya akan suatu hal yang tak memberi manfaat. Termasuklah suatu hal yang tak ada hikmahnya. Maka karena itu, jika kita selalu berpedoman terhadap al-Qur’an dan al-Hadist akan kita dapatkan hikmah dibalik kepatuhan nkita terhadap ajaran Allah SWT. Termasuk disini disebutkan akan hikmah dalam suatu pernikahan:
* Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
* Memelihara kesucian diri
* Melaksanakan tuntutan syariat
* Menjaga keturunan
2.6 Nikah Berbeda Agama Ditinjau Dari Hukum Agama Islam
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan – perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya biasa disebut sebagai “pernikahan beda agama’’.

Pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.

Keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan di masyarakat semakin luas dan beragam, hal ini telah mengakibatkan pergeseran nilai agama yang lebih dinamis daripada yang terjadi pada masa lampau, seorang muslimin dan muslimat sekarang ini lebih berani untuk memilih pendamping hidup non-muslim. Hal ini tentu saja dianggap oleh masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam sebagai penyalahan atau pergeseran nilai-nilai Islam yang ada.

Tak jarang hal ini sering menimbulkan gejolak dan reaksi keras di kalangan masyarakat kita. Masalah ini menimbulkan perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing pihak memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama.

Masalah pernikahan berbeda keyakinan ini sebenarnya terbagi dalam 2 kasus keadaan, antara lain:
Kasus 1: Pernikahan antara laki-laki non-muslim dengan wanita muslim
Kasus 2: Pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim

Pada kasus 1 kedua pihak ulama sepakat untuk mengharamkan pernikahan yang terjadi pada keadaan seperti itu, seorang wanita muslim haram hukumnya dan pernikahannya tidak sah bila menikah dengan laki-laki non-muslim Al-Quran menjelaskan. “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (Surat Al-Baqarah Ayat 221).

Sedang pada kasus ke-2. Seorang laki-laki muslim dilarang menikah dengan wanita non-muslim kecuali wanita ahli kitab, seperti yang disebutkan. “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi”.(Al-Maaidah Ayat 5).

Pada surat Al-Baqarah ayat 221 terang di jelaskan bahwa :Baik laki-laki ataupun perempuan memiliki larangan untuk menikahi atau dinikahkan oleh seorang musyrik.. dan dalam surat Al-Maidah di jelaskan kembali bagi seorang laki-laki ,boleh menikahi AHLI KITAB. Namun terdapat beberapa pendapat bahwa ahli kitab di sini bukanlah penganut injil,ataupun taurat yang ada pada saat ini.Ahli kitab yang dimaksudkan disini ialah mereka yang bersyahadat Mengakui adanya ALLAH akan tetapi tidak mengakui adanya Muhammad.

2.7 Dampak Negatif Pernikahan Antar-umat Berbeda Agama
Menikah merupakan sebuah kebutuhan pokok setiap mahluk yang bernyawa (hidup). Bukan hanya manusia, jin, iblis, dan syetan juga perlu melestarikan keturunan dengan cara menikah. Hewan dan tumbuh-tumbuhan yang dikenal mahluk tak ber-akal, ternyata juga perlu menikah.

Esensi dari sebuah penikahan itu, sebenarnya bukan hanya sekedar melampiaskan kebutuhan biologis belaka, tetapi melestarikan keturunan. Dalam ajaran islam, Nabi Saw sebagai panutan memberikan penjelasan panjang lebar seputar tujuan serta manfaat pernikahan. Bahkan, Nabi Saw juga memberikan teladan bagaimana cara memilih kriteria pasangan sejati, agar supaya bahtera rumah tangga benar-benar sesuai dengan manfaat dan tujuan menikah.Terkait dengan tujuan pernikahan, hendaknya memilih kriteria calon pasangan yang sesuai dengan ajaran agama dan keyakinan.

Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi setiap orang yang ber-imam supaya memilih pasangan yang se-iman. Wajar, jika al-Qur’an dan hadis, banyak memberikan penjelasan seputar wanita atau lekaki yang akan menjadi pasangan hidup. Allah Swt menegaskan bahwa ke-imanan (tauhid), merupakan syarat mutlaq untuk menjadi pasangan hidup seseorang. Sebab, pernikahan itu sebenarnya tidak hanya berlangsung di alam fana’, tetapi hingga sampai pada kehidupan abadi (surga).

QS Yasin (36:56) yang artinya:” Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan”. Namun, jika pasangan itu tidak se-iman, maka pasangan itu cukup semasa hidup didunia.
Terkait dengan memilih pasangan, Nabi Saw mewanti-wanti kepada pengikutnya agar jangan sampai salah pilih. Karena dampakanya kurang baik di dalam membangun generasi unggulan, dan akan berbuntut dikemudian hari. Nabi Saw Bersabda:
”Diriwayatkan dari Aisyah r.a., Nabi s.a.w menuturkan: ”Pilihlah tempat yang paling benar wanita yang akan mengandung anakmu “

Oleh karena itu, orang tua hendaknya selektif di dalam menentukan pilihan menantunya. Belum tentu lelaki atau pemilik (benih) yang akan tertanam di dalam rahim putrinya adalah benih yang bagus, sehingga membawa kebaikan bagi banyak orang, khususnya keluarganya. Atau sebaliknya, wanita pemilik (ladang) itu banyak hama, kuman dan virus, sehingga benihnya tidak bisa tumbuh dengan baik dan sempurna.

Secara gamlang, Nabi Allah Swt melarang menikahi wanita (pasangan) berbeda agama dan keyakinan. Sebagian ulama’, sepakat bahwa menikah beda agama itu hukumnya haram, walaupun ada juga yang berpendapat bahwa menikah dengan beda agama itu sekedar boleh. Dengan catatan, wanita yang akan dinikahi itu termasuk bukan wanita yang menyekutukan tuhan (syirik). Akan tetapi, lebih amannya ialah menikah dengan sesama agama dan keyakinan.

QS al-Baqarah (2:221), Allah Swt menjelaskan:” Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Asbabun al-Nuzul ayat ini turun pada seorang sahabat yang beranama Abi Marsad al-Ganawi. Ia datang kepada Nabi agar supaya di zinikan menikah dengan seorang wanita yang sangat cantik dan menarik, akan tetapi wanita itu seorang yang menyekutukan Allah SWT. Lantas ia bertanya” Wahai Rosulullah, sesungguhnya wanita sangat cantik dan memikat hatiku” Kemudian, turunlah ayat ini sebagai bukti larangan menikahi wanita musrik.

Ayat ini mengisaratkan betapa pentingnya pernikahan atas dasar keyakinan dan agama. Bukan berarti, kecantikan atau ketampanan tidak penting, akan tetapi, jika kecantikan itu jutru membawa petaka dan pidana. Maka, apa artinya sebuah pernikahan. Oleh karena itu, Nabi Saw menjelaskan secara terperinci, menikah itu hendaknya juga memperhatikan (penampilan (cantik/ ganteng), materi (cukup), nasab (keturunan) dan moral (agama). Masing-masing yang disebutkan di atas akan saling menyempurnakan dan melengkapi menuju rumah tangga yang bahagia dan sejahtera lahir dan batin.

Realitas dilapangan, ternyata pasangan yang telah menikah dengan meng-atasnamakan CINTA, ternyata justru paling banyak BERCERAI. Apalagi, pernikahan itu dengan tidak seiman, justu menyisakan duka lara. Walaupun ada orang yang menikah beda agama dan keyakinan tidak masalah, tetapi realitasnya banyak yang menikah berahir dengan perpisahan, serta masalah, bahkan sampai memperebutkan hak asuh anak-anak agar mengikuti agama salah satu dari orangtuanya. Secara tegas, islam merlarang pemeluknya menikah dengan orang yang menyekutukan Allah SWT, seperti menyembah berhala (batu, kayu, patung), kecuali mereka beragama samawi (langit), seperti Nasrani, Yahudi,.

Sangatlah jelas larangan tentang pernikahan antar orang yang berlainan agama. Maka, jika kita gunakan akal sehat kita, sangatlah tidak rasional jika kita masih akan berbelok dari arahan Allah juga nabi Muhammad dalam al-kitab dan as-sunnahnya. Karena pada hakikatnya, petunjuk itu, tiada lain hanyalah bertujuan untuk keselamatan umat di dunia sampai di akhirat nanti.

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Setelah kembali mempelajari lebih detail tentang aturan islam dalam permasalahan nikah serta hukumnya, maka sangatlah jelas pula akan suatu batasan hubungan antara umat islam dengan umat non muslim.
Dengan itu pula, sudah jelas. Bahwa Allah melarang hubungan nikah antara umat muslim dan non muslim guna keselamatan umat itu sendiri. Baik keselamatan dunia dan akhirat. Serta untuk keselamatan keturunannya dan keselamatan akan agama islam. Karena dengan benar-benar menjaga hubungan sesama muslimlah yang akan menjadikan kita selamat.

Kita harus ingatpula akan tujuan dari nikah diatas. Dengan dampak yang begitu memprihatinkan, jika sampai diantara kita terlampau melakukan pernikahan dengan seseorang yang berbeda agama dengan diri kita.
Marilah kita pahami dan lihat kembali hikmah pernikahan dengan sesame muslim yang Allah janjikan:
* Memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
* Memelihara kesucian diri
* Melaksanakan tuntutan syariat
* Menjaga keturunan
Dengan itulah, kitapun harus patut bersyukur karena Allah telah menjaga kita sebagai umatnya dengan segala aturannya. Marilah, kita lihat.. kembalikan diri kita untuk hanya berpatokan pada al-Qur’an dan al-Hadist atas setiap lakon kehidupan kita. Agar kita selamat.

3.2 SARAN
Setelah kita mengetahui akan hukum islam dalam menyikapi masalah pernikahan seorang umat yang berbeda agama. Maka, selayaknya kita harus benar-benar menjaga diri kita dan bahkan tidak boleh kita melakukan hal yang memang kita tahu bahwa hal itu sebuah larangan dari Allah SWT.
Karena sejatinya, untuk menjaga diri kita kita harus menjaga aturan agama kita. Seiring dengan itulah, keselamatan dunia akhirat akan kita dapatkan.

3.3 DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Ictiar Baru Hoeve, Jakarta, 1996.
Al-Qur'an al-Karim
Wacana, Edisi 8, Tahun II/2001.
M. Luqman Hakim (ed), Deklarasi Islam tentang HAM, Risalah Gusti, Surabaya, 1993.
Ham dalam Konstitusi Indonesia, Jawahir Thontowi.Phd